Latar Belakang Masalah

Propinsi Jawa Tengah terletak antara Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan salah satu propinsi terpadat penduduknya di Indonesia. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, Propinsi Jawa Tengah mempunyai jumlah penduduk sebesar 32,18 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk Indonesia (jateng.bps.go.id, 2006). Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai Propinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Propinsi Jawa Tengah, terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota terdiri dari 568 kecamatan dan 8.573 desa/kelurahan (jateng.bps.go.id, 2006). Kepadatan Penduduk Jawa Tengah ternyata belum menyebar secara merata di seluruh wilayah. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 989 jiwa setiap kilometer persegi dengan wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 12 ribu orang setiap kilometer persegi (jateng.bps.go.id, 2006).

 Kepadatan penduduk Di Jawa Tengah menimbulkan berbagai masalah karena dengan luas wilayah Jawa Tengah sendiri sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia) dan luas yang ada terdiri dari 992 ribu hektar (30,50 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,50 persen) bukan lahan sawah (jateng.bps.go.id, 2006). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan persawahan mengalami penurunan sebesar 0,35 persen, sebaliknya luas lahan bukan sawah naik sebesar 0,16 persen. Ini mengindikasikan bahwa penggunaan lahan bukan sawah terus meningkat terutama untuk perumahan masyarakat seiring terus bertambahnya jumlah penduduk Jawa tengah (jateng.bps.go.id, 2006).
 Berkurangnya lahan persawahan yang terjadi dari tahun ke tahun tidak dapat dihindari karena maraknya perumahan baru. Pada tahun 2009 bisnis perumahan di Indonesia diproyeksikan akan lebih prospektif dengan terdorongnya penurunan defisit neraca transaksi dan inflasi dari tahun 2008, karena pada tahun 2008 iklim moneter kurang kondusif bagi bisnis perumahan yang terlihat dari lambatnya permintaan rumah (bps.go.id, 2006). Perumahan juga akan lebih hidup di tahun 2009 karena proyeksi neraca transaksi berjalan pada 2009 akan mencapai 6,122 miliar dolar AS, lebih rendah dari proyeksi 2008 sebesar 10,409 miliar dolar dan realisasi 2007 sebesar 10,836 miliar dollar AS, serta tingkat inflasi 2009 akan berada pada kisaran 6,5 persen, jauh di bawah kisaran inflasi 2008 yang mencapai dua digit (perumnas.com, 2008). Nilai tukar rupiah juga diperkirakan akan terjaga pada kisaran Rp9.100 per dolar AS sehingga tidak ada alasan bagi perbankan untuk menaikkan suku bunga (perumnas.com, 2008). Faktor lain yang akan mendorong prospek perumahan pada 2009 adalah akumulasi defisit rumah yang masih tinggi, jauh lebih tinggi dari kemampuan penyediaan. Rumahtegal.com (2008) memperkirakan hingga 2009 terjadi akumulasi kebutuhan rumah di Indonesia hingga sekitar 5,6 juta di samping sekitar 13,1 juta rumah yang tidak layak huni. 
 Apik dalam Kmenpera.com (2008) menyebutkan bahwa pengembangan perumahan pada tahun 2008 diharapkan mematuhi peraturan perundangan yang ada dan dapat terlaksana dengan baik yang membuat para konsumen merasa puas. Hal tersebut juga disampaikan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Yusuf Asy’ari pada acara groundbreaking Apartemen Bersubsidi Green Parkview, Jakarta Barat (Minggu 31/8). Selain itu Menpera juga berharap pengembang perumahan juga memperhatikan keserasian antara pembangunan hunian dan lingkungan yang ada. Adanya keserasian tersebut diharapkan dapat menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif serta mengembangkan lingkungan hunian yang berimbang.
 Menpera dalam kmenpera.com (2008) menjelaskan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan perumahan yang baik dan berkelanjutan dengan tata pemerintahan yang sudah diatur. Menpera juaga menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan permukiman diharapkan dapat dilaksanakan secara penuh dan efektif di semua tingkatan pemerintah. Hal ini sejalan dengan PP No.38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang menyatakan bahwa perumahan merupakan urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah. Ini mengingat penyelenggaraan perumahan merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat. Kurang memadainya perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan perumahan dan permukiman di daerahnya masih banyak dirasakan. Kebijakan-kebijakan yang disusun juga belum sepenuhnya menetapkan sektor perumahan sebagai prioritas penanganan. Apalagi kepentingan para stakeholder perumahan seperti para pengembang, perbankan, LSM, dan masyarakat, belum sepenuhnya diakomodasi dalam sistem pembangunan pemeritahan yang baik.
 Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan perumahan sangat dominan dari pada pemerintah sendiri. Keterlibatan ini berawal pada undang-undang penanaman modal asing (1967) dan modal dalam negeri (1968), sehingga untuk pelaksanaannya pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keputusan no.28/1974 tentang tata-cara penanaman modal di bidang perumahan. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5/1974 tentang penyediaan dan pembelian tanah. Sejak tahun 1974, di beberapa kota besar tampak kegiatan menonjol dari pihak swasta untuk membangun perumahan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas. Hal ini dikuatkan dengan penghasilan negara yang berlimpah akibat naiknya harga minyak bumi. Kemudian keluar surat keputusan BKPM yang mengharuskan swasta dalam membangun perumahan memakai perbandingan 1: 3: 6 yang artinya bahwa pihak swasta membangun perumahan dengan komposisi 1 rumah mewah, 3 rumah sedang/rumah sederhana dan 6 rumah murah/rumah sangat sangat sederhana. Dengan demikian pembangunan perumahan oleh swasta juga diharapkan melayani masyarakat lebih merata, termasuk yang penghasilannya terbatas. Untuk enam bagian perumahan murah tersebut, didukung dengan Kredit Pemilikan Rumah dari Bank Tabungan Negara (KPR-BTN).
 Pengadaan perumahan harus diperhatikan oleh setiap kabupaten/kota karena belum memadainya pemenuhan rumah yang ada. Ini terlihat dari pemenuhan kebutuhan rumah sederhana selama setahun yang berkisar 200 ribu lebih, sementara pemenuhannya baru berkisar 80 ribu rumah (perumnas.com, 2008). Kebutuhan akan perumahan atau tempat tinggal sangat dirasakan setiap manusia karena perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak dipenuhi. Kebutuhan akan rumah saat ini menjadi prioritas utama bagi setiap orang. Fungsi dari sebuah rumah sekarang bukan hanya sekedar sebagai tempat berteduh saat panas ataupun hujan, tapi lebih dari itu semua rumah merupakan tempat terbaik untuk membina keluarga bahagia dan sejahtera. Tidak heran kalau sekarang banyak orang berlomba untuk mendapatkan dan membuat sebuah rumah yang nyaman untuk dihuni sesuai dengan kemampuanya. Banyak orang berani mengeluarkan sebagian besar uangnya atau bahkan seluruh tabungan untuk dapat memenuhi kebutuhan akan sebuah rumah tidak terkecuali bagi kelompok masyarakat menengah bawah yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi Fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) merupakan salah satu solusi bagi golongan masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi (btn.co.id, 2008). Setiawan (2001) menerangkan bahwa untuk mendapatkan rumah yang sesuai dan pas dengan keinginan tidaklah mudah meskipun banyak pengembang perumahan yang menawarkan perumahanya dengan berbagai type dan spesifisikasi menarik.
 Banyak penawaran rumah yang diajukan pengembang pada konsumen. Rumaht sekarang ini bagi sebagian konsumen tidak hanya sekedar sebagai tempat tinggal untuk berteduh dari panas ataupun hujan juga tempat yang memberikan hal yang lebih diinginkan konsumen, seperti: tersedianya berbagai macam fasilitas penunjang yang tergolong mewah dan mudahnya akses perumahan tersebut serta yang tidak kalah penting adalah image perumahan tersebut bagi konsumen yang menempati. Menegpera dalam kmenpera.com (2008) pernah menegaskan pada saat Hapernas yang jatuh pada tanggal 25 Agustus 2008 kepada seluruh pengembang perumahan agar lebih mementingkan perkembangan perumahan rakyat yang sederhana dan layak huni serta harus memahami dan menangani masalah perumahan sekarang ini yang lebih mengedepankan kemewahan dari sebuah perumahan.
 Perumahan yang tingkat huniannya tinggi di suatu lokasi menunjukan bahwa perumahan tersebut sangat diminati dan dibeli konsumen untuk ditempati sebagai rumah tinggal. Namun sejalan dengan perkembangan dan makin meningkatnya penghasilan masyarakat yang berdampak pada tingginya motif pembelian rumah, berdampak besar pula bagi sebagian pengembang perumahan untuk dapat memberikan perumahan yang menarik dengan berbagai macam model dan type rumah dengan kondisi masyarakatnya (Kompas.com, 2007).. Hartarin (2006) menyebutkan bahwa sebagian konsumen perumahan dewasa ini dalam memilih rumah lebih didasari pada image dari sebuah perumahan tersebut. Konsumen sekarang dalam membeli sebuah perumahan didasarkan pada lokasi, sifat keragaman, harga dan pelayanan yang diberikan. Keempat komponen tersebut merupakan kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan atau jasa menjadi tidak sempurna bila ada salah satu unsur tersebut yang terabaikan. Kotler (1997), image konsumen pada suatu perumahan sangat berpengaruh karena terdapat seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh setiap konsumen terhadap suatu objek. Ini memungkinkan konsumen melakukan pembelian perumahan di suatu kawasan tertentu. Hartarin (2006) menyebutkan bahwa pembelian konsumen yang tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitas perumahan akan berdampak pada persepsi konsumen terhadap suatu perumahan baik yang positif maupun negatif. image yang positif pada suatu perumahan dapat diperoleh dari kemampuan pengembang perumahan memberikan sesuatu yang lebih baik, pelayanan yang memuaskan atau jasa yang excellence.
 Pandangan akan sebuah perumahan dengan berdasarkan pada image dari sebuah perumahan sekarang ini merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan perilaku konsumen dalam menentukan keputusan pembelian. Image yang telah melekat pada perumahan akan tetap bertahan lama walaupun perumahan tersebut mengalami berbagai perubahan. Hal ini dilihat pada kenyataan bahwa sekali konsumen memiliki image terhadap suatu objek (perumahan), konsumen akan cenderung untuk terus mengamati berbagai macam informasi mengenai perumahan tersebut secara selektif, yang pada akhirnya konsumen akan tetap menerima informasi yang disesuaikan dengan image perumahan yang terdapat pada pikiran konsumen. Dengan demikian image memiliki umur tersendiri terutama apabila konsumen tidak memiliki pengalaman langsung terhadap objek yang dituju atau terus menerus dengan objek yang selalu berubah. Jadi tidak dapat diabaikan bahwa nilai lama yang dimiliki konsumen sebagai akibat dari pengalaman masa lalu sangat sulit untuk ditinggalkan, apalagi di dalam setiap diri konsumen memiliki pemikiran dan persepsi berbeda yang mendasari konsumen dalam melakukan tindakan pembelian.
 Tingginya tingkat hunian suatu lokasi perumahan menunjukan bahwa perumahan tersebut dibeli konsumen untuk ditempati sebagai rumah tinggal (Kompas, Juli 2001). Masyarakat sekarang mempunyai kecenderungan dalam membeli perumahan untuk motif tempat tinggal karena kemudahan dan makin sedikitnya lahan daripada harus membuat sendiri. Perumahan sekarang menjadi sasaran bagi sebagian orang yang mencari kemudahan dan kecepatan terutama bagi para keluarga muda yang belum mempunyai rumah sendiri. Semuel (2003) menyatakan bahwa motif itu sendiri mempunyai beberapa fungsi penting untuk mengarahkan perilaku konsumen yaitu untuk menetapkan kebutuhan dasar, mengidentifikasikan objek sasaran, mempengaruhi kriteria pemilihan dan mengarahkan pengaruh-pengaruh lainya. Berdasarkan survai Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) di Jakarta menyatakan bahwa masyarakat dalam membeli perumahan mempunyai motif tempat tinggal dan dijelaskan bahwa: tingkat hunian perumahan di wilayah Jakarta rata-rata tertinggi adalah sebesar 80% menunjukan bahwa perumahan diwilayah Jakarta dijadikan sebagai tempat tinggal. Berbeda dengan perumahan diluar Jakarta dengan kecenderungan dijadikan tujuan investasi, sebab dengan relatif lebih murahnya harga tanah dan masih banyaknya lahan untuk bisa dimanfaatkan. Sebagian masyarakat menganggap membeli perumahan merupakan peluang yang menguntungkan untuk investasi dengan resiko relatif kecil jika dibandingkan dengan investasi lain seperti bermain dipasar modal.
 Peranan suatu motif untuk membangkitkan dan menunjukan perilaku konsumen dalam mengambil keputusan pembelian sangat besar apalagi menyangkut kepentingan pribadi konsumen. Loudon dan Bitta (1993) menjelaskan bahwa motif dalam mengarahkan perilaku konsumen mempunyai fungsi penting yaitu menetapkan kebutuhan dasar, mengidentifikasikan objek sasaran, mempengaruhi kriteria pemilihan dan mengarahkan pengaruh-pengaruh lainya yang berkaitan dengan konsumen dalam memutuskan pembelian sebuah perumahan.
 Banyaknya perumahan yang ada seiring dengan pesatnya jumlah penduduk merupakan hal yang wajar. Namun sejalan dengan perkembangan, fungsi dari sebuah perumahan sekarang sudah bergeser. Di Kabupaten Tegal banyak perumahan yang menjadi pilihan sendiri bagi para konsumen, setidaknya ada beberapa kawasan perumahan yang menjadi pilihan utama konsumen (rumahtegal.com, 2007). Diantara beberapa kawasan perumahan yang ada di Kabupaten Tegal, perumahan Griya Mejasem Baru salah satunya. Perumahan yang terletak di Desa Mejasem, Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal ini banyak diminati oleh konsumen baik warga asli Tegal maupun para pendatang dari luar Tegal. Perumahan ini menawarkan berbagai spesifikasi type bangunan dari mulai type 30/72 , type 36/84 , type 36/90 dan type 46/117 . Perumahan Griya Mejasem Baru juga didukung berbagai macam fasilitas mulai dari rumah sakit, sekolah, stadion olah raga, tempat peribadahan, retail perbelanjaan dan masih banyak lagi fasilitas pendukung lainnya karena berada di kawasan komplek perumahan. Selain disediakan berbagai fasilitas pendukung, perumahan Griya Mejasem Baru juga terletak dipinggiran Kota Tegal yang memudahkan akses konsumen untuk keluar masuk kota Tegal dan daerah lainnya. Perumahan Griya Mejasem Baru sendiri mempunyai image tersendiri dikalangan masyarakat yang menjadikan nilai lebih bagi konsumen yang tinggal di perumahan tersebut. Kebutuhan akan perumahan juga terus meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mendorongan konsumen akan motif tempat tinggal yang memadai sesuai dengan harapan semua orang. Ini membuat konsumen dalam memutuskan pembelian perumahan, apakah lebih didorong oleh image perumahan, motif untuk tempat tinggal atau bahkan konsumen membeli rumah untuk motif lain seperti investasi.