Latar Belakang Masalah

Propinsi Jawa Tengah terletak antara Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan salah satu propinsi terpadat penduduknya di Indonesia. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, Propinsi Jawa Tengah mempunyai jumlah penduduk sebesar 32,18 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk Indonesia (jateng.bps.go.id, 2006). Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai Propinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Propinsi Jawa Tengah, terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota terdiri dari 568 kecamatan dan 8.573 desa/kelurahan (jateng.bps.go.id, 2006). Kepadatan Penduduk Jawa Tengah ternyata belum menyebar secara merata di seluruh wilayah. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 989 jiwa setiap kilometer persegi dengan wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 12 ribu orang setiap kilometer persegi (jateng.bps.go.id, 2006).

 Kepadatan penduduk Di Jawa Tengah menimbulkan berbagai masalah karena dengan luas wilayah Jawa Tengah sendiri sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia) dan luas yang ada terdiri dari 992 ribu hektar (30,50 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,50 persen) bukan lahan sawah (jateng.bps.go.id, 2006). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan persawahan mengalami penurunan sebesar 0,35 persen, sebaliknya luas lahan bukan sawah naik sebesar 0,16 persen. Ini mengindikasikan bahwa penggunaan lahan bukan sawah terus meningkat terutama untuk perumahan masyarakat seiring terus bertambahnya jumlah penduduk Jawa tengah (jateng.bps.go.id, 2006).
 Berkurangnya lahan persawahan yang terjadi dari tahun ke tahun tidak dapat dihindari karena maraknya perumahan baru. Pada tahun 2009 bisnis perumahan di Indonesia diproyeksikan akan lebih prospektif dengan terdorongnya penurunan defisit neraca transaksi dan inflasi dari tahun 2008, karena pada tahun 2008 iklim moneter kurang kondusif bagi bisnis perumahan yang terlihat dari lambatnya permintaan rumah (bps.go.id, 2006). Perumahan juga akan lebih hidup di tahun 2009 karena proyeksi neraca transaksi berjalan pada 2009 akan mencapai 6,122 miliar dolar AS, lebih rendah dari proyeksi 2008 sebesar 10,409 miliar dolar dan realisasi 2007 sebesar 10,836 miliar dollar AS, serta tingkat inflasi 2009 akan berada pada kisaran 6,5 persen, jauh di bawah kisaran inflasi 2008 yang mencapai dua digit (perumnas.com, 2008). Nilai tukar rupiah juga diperkirakan akan terjaga pada kisaran Rp9.100 per dolar AS sehingga tidak ada alasan bagi perbankan untuk menaikkan suku bunga (perumnas.com, 2008). Faktor lain yang akan mendorong prospek perumahan pada 2009 adalah akumulasi defisit rumah yang masih tinggi, jauh lebih tinggi dari kemampuan penyediaan. Rumahtegal.com (2008) memperkirakan hingga 2009 terjadi akumulasi kebutuhan rumah di Indonesia hingga sekitar 5,6 juta di samping sekitar 13,1 juta rumah yang tidak layak huni. 
 Apik dalam Kmenpera.com (2008) menyebutkan bahwa pengembangan perumahan pada tahun 2008 diharapkan mematuhi peraturan perundangan yang ada dan dapat terlaksana dengan baik yang membuat para konsumen merasa puas. Hal tersebut juga disampaikan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Yusuf Asy’ari pada acara groundbreaking Apartemen Bersubsidi Green Parkview, Jakarta Barat (Minggu 31/8). Selain itu Menpera juga berharap pengembang perumahan juga memperhatikan keserasian antara pembangunan hunian dan lingkungan yang ada. Adanya keserasian tersebut diharapkan dapat menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif serta mengembangkan lingkungan hunian yang berimbang.
 Menpera dalam kmenpera.com (2008) menjelaskan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan perumahan yang baik dan berkelanjutan dengan tata pemerintahan yang sudah diatur. Menpera juaga menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan permukiman diharapkan dapat dilaksanakan secara penuh dan efektif di semua tingkatan pemerintah. Hal ini sejalan dengan PP No.38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang menyatakan bahwa perumahan merupakan urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah. Ini mengingat penyelenggaraan perumahan merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat. Kurang memadainya perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan perumahan dan permukiman di daerahnya masih banyak dirasakan. Kebijakan-kebijakan yang disusun juga belum sepenuhnya menetapkan sektor perumahan sebagai prioritas penanganan. Apalagi kepentingan para stakeholder perumahan seperti para pengembang, perbankan, LSM, dan masyarakat, belum sepenuhnya diakomodasi dalam sistem pembangunan pemeritahan yang baik.
 Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan perumahan sangat dominan dari pada pemerintah sendiri. Keterlibatan ini berawal pada undang-undang penanaman modal asing (1967) dan modal dalam negeri (1968), sehingga untuk pelaksanaannya pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keputusan no.28/1974 tentang tata-cara penanaman modal di bidang perumahan. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5/1974 tentang penyediaan dan pembelian tanah. Sejak tahun 1974, di beberapa kota besar tampak kegiatan menonjol dari pihak swasta untuk membangun perumahan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas. Hal ini dikuatkan dengan penghasilan negara yang berlimpah akibat naiknya harga minyak bumi. Kemudian keluar surat keputusan BKPM yang mengharuskan swasta dalam membangun perumahan memakai perbandingan 1: 3: 6 yang artinya bahwa pihak swasta membangun perumahan dengan komposisi 1 rumah mewah, 3 rumah sedang/rumah sederhana dan 6 rumah murah/rumah sangat sangat sederhana. Dengan demikian pembangunan perumahan oleh swasta juga diharapkan melayani masyarakat lebih merata, termasuk yang penghasilannya terbatas. Untuk enam bagian perumahan murah tersebut, didukung dengan Kredit Pemilikan Rumah dari Bank Tabungan Negara (KPR-BTN).
 Pengadaan perumahan harus diperhatikan oleh setiap kabupaten/kota karena belum memadainya pemenuhan rumah yang ada. Ini terlihat dari pemenuhan kebutuhan rumah sederhana selama setahun yang berkisar 200 ribu lebih, sementara pemenuhannya baru berkisar 80 ribu rumah (perumnas.com, 2008). Kebutuhan akan perumahan atau tempat tinggal sangat dirasakan setiap manusia karena perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak dipenuhi. Kebutuhan akan rumah saat ini menjadi prioritas utama bagi setiap orang. Fungsi dari sebuah rumah sekarang bukan hanya sekedar sebagai tempat berteduh saat panas ataupun hujan, tapi lebih dari itu semua rumah merupakan tempat terbaik untuk membina keluarga bahagia dan sejahtera. Tidak heran kalau sekarang banyak orang berlomba untuk mendapatkan dan membuat sebuah rumah yang nyaman untuk dihuni sesuai dengan kemampuanya. Banyak orang berani mengeluarkan sebagian besar uangnya atau bahkan seluruh tabungan untuk dapat memenuhi kebutuhan akan sebuah rumah tidak terkecuali bagi kelompok masyarakat menengah bawah yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi Fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) merupakan salah satu solusi bagi golongan masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi (btn.co.id, 2008). Setiawan (2001) menerangkan bahwa untuk mendapatkan rumah yang sesuai dan pas dengan keinginan tidaklah mudah meskipun banyak pengembang perumahan yang menawarkan perumahanya dengan berbagai type dan spesifisikasi menarik.
 Banyak penawaran rumah yang diajukan pengembang pada konsumen. Rumaht sekarang ini bagi sebagian konsumen tidak hanya sekedar sebagai tempat tinggal untuk berteduh dari panas ataupun hujan juga tempat yang memberikan hal yang lebih diinginkan konsumen, seperti: tersedianya berbagai macam fasilitas penunjang yang tergolong mewah dan mudahnya akses perumahan tersebut serta yang tidak kalah penting adalah image perumahan tersebut bagi konsumen yang menempati. Menegpera dalam kmenpera.com (2008) pernah menegaskan pada saat Hapernas yang jatuh pada tanggal 25 Agustus 2008 kepada seluruh pengembang perumahan agar lebih mementingkan perkembangan perumahan rakyat yang sederhana dan layak huni serta harus memahami dan menangani masalah perumahan sekarang ini yang lebih mengedepankan kemewahan dari sebuah perumahan.
 Perumahan yang tingkat huniannya tinggi di suatu lokasi menunjukan bahwa perumahan tersebut sangat diminati dan dibeli konsumen untuk ditempati sebagai rumah tinggal. Namun sejalan dengan perkembangan dan makin meningkatnya penghasilan masyarakat yang berdampak pada tingginya motif pembelian rumah, berdampak besar pula bagi sebagian pengembang perumahan untuk dapat memberikan perumahan yang menarik dengan berbagai macam model dan type rumah dengan kondisi masyarakatnya (Kompas.com, 2007).. Hartarin (2006) menyebutkan bahwa sebagian konsumen perumahan dewasa ini dalam memilih rumah lebih didasari pada image dari sebuah perumahan tersebut. Konsumen sekarang dalam membeli sebuah perumahan didasarkan pada lokasi, sifat keragaman, harga dan pelayanan yang diberikan. Keempat komponen tersebut merupakan kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan atau jasa menjadi tidak sempurna bila ada salah satu unsur tersebut yang terabaikan. Kotler (1997), image konsumen pada suatu perumahan sangat berpengaruh karena terdapat seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh setiap konsumen terhadap suatu objek. Ini memungkinkan konsumen melakukan pembelian perumahan di suatu kawasan tertentu. Hartarin (2006) menyebutkan bahwa pembelian konsumen yang tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitas perumahan akan berdampak pada persepsi konsumen terhadap suatu perumahan baik yang positif maupun negatif. image yang positif pada suatu perumahan dapat diperoleh dari kemampuan pengembang perumahan memberikan sesuatu yang lebih baik, pelayanan yang memuaskan atau jasa yang excellence.
 Pandangan akan sebuah perumahan dengan berdasarkan pada image dari sebuah perumahan sekarang ini merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan perilaku konsumen dalam menentukan keputusan pembelian. Image yang telah melekat pada perumahan akan tetap bertahan lama walaupun perumahan tersebut mengalami berbagai perubahan. Hal ini dilihat pada kenyataan bahwa sekali konsumen memiliki image terhadap suatu objek (perumahan), konsumen akan cenderung untuk terus mengamati berbagai macam informasi mengenai perumahan tersebut secara selektif, yang pada akhirnya konsumen akan tetap menerima informasi yang disesuaikan dengan image perumahan yang terdapat pada pikiran konsumen. Dengan demikian image memiliki umur tersendiri terutama apabila konsumen tidak memiliki pengalaman langsung terhadap objek yang dituju atau terus menerus dengan objek yang selalu berubah. Jadi tidak dapat diabaikan bahwa nilai lama yang dimiliki konsumen sebagai akibat dari pengalaman masa lalu sangat sulit untuk ditinggalkan, apalagi di dalam setiap diri konsumen memiliki pemikiran dan persepsi berbeda yang mendasari konsumen dalam melakukan tindakan pembelian.
 Tingginya tingkat hunian suatu lokasi perumahan menunjukan bahwa perumahan tersebut dibeli konsumen untuk ditempati sebagai rumah tinggal (Kompas, Juli 2001). Masyarakat sekarang mempunyai kecenderungan dalam membeli perumahan untuk motif tempat tinggal karena kemudahan dan makin sedikitnya lahan daripada harus membuat sendiri. Perumahan sekarang menjadi sasaran bagi sebagian orang yang mencari kemudahan dan kecepatan terutama bagi para keluarga muda yang belum mempunyai rumah sendiri. Semuel (2003) menyatakan bahwa motif itu sendiri mempunyai beberapa fungsi penting untuk mengarahkan perilaku konsumen yaitu untuk menetapkan kebutuhan dasar, mengidentifikasikan objek sasaran, mempengaruhi kriteria pemilihan dan mengarahkan pengaruh-pengaruh lainya. Berdasarkan survai Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) di Jakarta menyatakan bahwa masyarakat dalam membeli perumahan mempunyai motif tempat tinggal dan dijelaskan bahwa: tingkat hunian perumahan di wilayah Jakarta rata-rata tertinggi adalah sebesar 80% menunjukan bahwa perumahan diwilayah Jakarta dijadikan sebagai tempat tinggal. Berbeda dengan perumahan diluar Jakarta dengan kecenderungan dijadikan tujuan investasi, sebab dengan relatif lebih murahnya harga tanah dan masih banyaknya lahan untuk bisa dimanfaatkan. Sebagian masyarakat menganggap membeli perumahan merupakan peluang yang menguntungkan untuk investasi dengan resiko relatif kecil jika dibandingkan dengan investasi lain seperti bermain dipasar modal.
 Peranan suatu motif untuk membangkitkan dan menunjukan perilaku konsumen dalam mengambil keputusan pembelian sangat besar apalagi menyangkut kepentingan pribadi konsumen. Loudon dan Bitta (1993) menjelaskan bahwa motif dalam mengarahkan perilaku konsumen mempunyai fungsi penting yaitu menetapkan kebutuhan dasar, mengidentifikasikan objek sasaran, mempengaruhi kriteria pemilihan dan mengarahkan pengaruh-pengaruh lainya yang berkaitan dengan konsumen dalam memutuskan pembelian sebuah perumahan.
 Banyaknya perumahan yang ada seiring dengan pesatnya jumlah penduduk merupakan hal yang wajar. Namun sejalan dengan perkembangan, fungsi dari sebuah perumahan sekarang sudah bergeser. Di Kabupaten Tegal banyak perumahan yang menjadi pilihan sendiri bagi para konsumen, setidaknya ada beberapa kawasan perumahan yang menjadi pilihan utama konsumen (rumahtegal.com, 2007). Diantara beberapa kawasan perumahan yang ada di Kabupaten Tegal, perumahan Griya Mejasem Baru salah satunya. Perumahan yang terletak di Desa Mejasem, Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal ini banyak diminati oleh konsumen baik warga asli Tegal maupun para pendatang dari luar Tegal. Perumahan ini menawarkan berbagai spesifikasi type bangunan dari mulai type 30/72 , type 36/84 , type 36/90 dan type 46/117 . Perumahan Griya Mejasem Baru juga didukung berbagai macam fasilitas mulai dari rumah sakit, sekolah, stadion olah raga, tempat peribadahan, retail perbelanjaan dan masih banyak lagi fasilitas pendukung lainnya karena berada di kawasan komplek perumahan. Selain disediakan berbagai fasilitas pendukung, perumahan Griya Mejasem Baru juga terletak dipinggiran Kota Tegal yang memudahkan akses konsumen untuk keluar masuk kota Tegal dan daerah lainnya. Perumahan Griya Mejasem Baru sendiri mempunyai image tersendiri dikalangan masyarakat yang menjadikan nilai lebih bagi konsumen yang tinggal di perumahan tersebut. Kebutuhan akan perumahan juga terus meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mendorongan konsumen akan motif tempat tinggal yang memadai sesuai dengan harapan semua orang. Ini membuat konsumen dalam memutuskan pembelian perumahan, apakah lebih didorong oleh image perumahan, motif untuk tempat tinggal atau bahkan konsumen membeli rumah untuk motif lain seperti investasi.




Latar Belakang

Manusia dalam menjalani kehidupan mempunyai kebutuhan dan keinginan untuk dipenuhi, baik sifatnya biologis maupun psikologis. Kotler (1997) membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan mendasar manusia berupa makanan, air, tempat tinggal, keamanan, penghargaan, pengakuan serta rasa kepemilikan. Keinginan (wants) adalah hasrat akan pemuas kebutuhan yang spesifik, dalam hal ini, manusia memiliki tingkatan yang berbeda terhadap produk dalam memuaskan kebutuhan dan keinginan.
 Faktor kepuasan merupakan kunci untuk mempertahankan konsumen, agar membeli kembali produk dengan merk yang sama (loyal). Kotler (1997) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara besarnya kinerja (hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas dan senang, untuk itu perusahaan dituntut mengerti apa yang sedang diinginakan oleh pasar.
Dalam perkembangan lingkungan bisnis akhir-akhir ini telah memunculkan suatu gejala, yaitu semakin banyak dan beragamnya produk yang ditawarkan oleh perusahaan pada industri yang sama. Produk yang ditawarkan dapat berupa barang, jasa atau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Beragamnya produk yang ditawarkan oleh perusahaan merupakan suatu strategi persaingan bisnis.
Krisis ekonomi yang sedang terjadi saat ini membuat persaingan suatu produk menjadi semakin ketat baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Meskipun konsumen yang membeli selalu ada tetapi daya belinya semakin kecil. Oleh sebab itu konsumen menjadi semakin kritis untuk melakukan pembelian atas produk yang mereka butuhkan salah satunya handphone. 
Di sisi perkembangan bisnisnya, handphone akhir-akhir ini telah menunjukkan suatu gejala, yaitu semakin banyak dan beragamnya produk handphone yang ditawarkan oleh perusahaan dan pengembangan produk handphone yang semakin cepat. Pengembangan produk handphone yang semakin cepat tersebut terletak pada bentuk, ukuran dan fasilitasnya. Semakin lama bentuk handphone semakin menarik, ukurannya semakin kecil dan fasilitas kegunaannya semakin lengkap. Saat ini banyak merek handphone yang telah beredar di Indonesia, misalnya: Nokia, Samsung, Sony Ericson, Siemens, LG, Philip, Motorola, Panasonic, ZTE, dll dan tiap merek meluncurkan banyak model atau seri yang bervariasi. Strategi pengembangan produk tersebut merupakan tujuan pemasar untuk menciptakan perilaku variety seeking pada diri konsumen.
Untuk memenangkan persaingan, perusahaan harus mampu memberikan yang terbaik bagi pelanggannya yaitu dengan memberikan kualitas yang lebih baik, produk yang lebih murah, pelayanan yang lebih baik dan lain sebagainya. Sebab jika pelanggan kurang puas maka kemungkinan pelanggan akan beralih ke merek lain, hal tersebut menyebabkan turunnya angka penjualan yang diikuti berkurangnya pangsa pasar (market share) sehingga akan menurunkan laba yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan itu sendiri.
Banyak perusahaan yang telah membuktikan bahwa oleh kuatnya strategi pengembangan produk yang dilakukan merupakan tujuan pemasar untuk menciptakan perilaku mencari keragaman (variety seeking) pada konsumen merek lain. Variety seeking adalah perilaku dari konsumen yang berusaha untuk mencari keberagaman merek di luar kebiasaannya karena tingkat keterlibatan beberapa produk rendah. Perilaku variety seeking menurut Kahn, Kalnawi, dan Morrison (1998,p-46) disebut juga sebagai kecenderungan individu-individu untuk mencari keberagaman dalam memilih jasa untuk mencari keberagaman dalam memilih jasa atau barang pada suatu waktu yang timbul karena beberapa alasan yang berbeda. Perilaku semacam ini sering terjadi pada beberapa produk dimana tingkat keterlibatan produk itu rendah (low involvement). Tingkat keterlibatan produk dikatakan rendah, apabila dalam proses pembuatan keputusan konsumen tidak melibatkan banyak faktor dan informasi yang harus ikut dipertimbangkan. Perilaku variety seeking ini cenderung akan terjadi pada pembelian sebuah produk yang menimbulkan risiko minimal yang akan ditanggung konsumen dan pada waktu konsumen kurang memiliki komitmen terhadap merek tertentu (Assael, 1998) perilaku variety seeking ini akan menimbulkan perilaku brand switching konsumen.
 Perilaku brand switching yang timbul akibat adanya perilaku variety seeking perlu mendapat perhatian pemasar. Perilaku ini tidak hanya cenderung terjadi pada produk yang memerlukan tingkat keterlibatan yang rendah (low involvement), akan tetapi terjadi juga pada produk dengan tingkat keterlibatan tinggi (high involuement). Tingkat keterlibatan produk dikatakan tinggi, apabila konsumen melibatkan banyak faktor pertimbangan dan informasi yang harus diperoleh sebelum menggambil keputusan untuk membeli. Adapun faktor yang termasuk dalam pertimbangan tersebut adalah resiko, yaitu resiko performance, fisik, keuangan dan waktu. Biasanya tingkat keterlibatan yang tinggi (high involvement) terjadi pada pembelian produk-produk otomotif dan elektronik (sambandam, dalam Dwi Wulan dan Alimuddin, 2004).
Telepon genggam (handphone) atau telepon selular saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dimana kepemilikannya tidak hanya didasarkan pada fungsi utama handphone sebagai alat komunikasi, tetapi fitur tambahan serta disain produk juga menjadi dasar pertimbangan dalam memutuskan memilih jenis atau merek produk. Masyarakat beranggapan bahwa handphone yang dimiliknya menggambarkan status sosial pemiliknya. Oleh karena itu memiliki handphone yang baru dan mahal menunjukkan status ekonomi yang mapan dan trendi. Namun sebagian lainnya menganggap bahwa handphone adalah merupakan alat komunikasi, maka bentuk, fitur serta teknologi yang melengkapinya tidaklah begitu penting. Bahkan banyak masyarakat yang menggunakan handphone tipe lama sepanjang fungsinya sebagai alat komunikasi tetap berfungsi.  
 Dari hasil riset yang dikemukakan oleh Roy Suryo dalam www.x-phones.com (2001) menyebutkan bahwa ternyata 92.9% orang membawa ponsel ketika liburan, dan 54% orang tidur dengan ponsel di sampingnya. Dari hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa handphone merupakan simbol kehidupan sehari-hari dan hampir semua orang memiliki serta menggunakannya.
 Dewasa ini handphone bukan hanya milik orang dewasa, akan tetapi juga dimiliki oleh anak- anak muda dari siswa sekolah dasar, sekolah menengah sampai perguruan tinggi dan orang tua. Selain itu handphone telah merambah melintasi perbedaan strata sosial dan status ekonomi, seiring dengan semakin murahnya harga handphone serta tersedianya produk-produk second hand (barang bekas pakai) hampir tersedia di semua counter penjualan, juga adanya upaya dari beberapa provider handphone untuk melayani segmen pasar tertentu dengan harga yang dapat terjangkau.
 Mengingat banyaknya pilihan merek dan tipe handphone yang ditawarkan dipasaran, serta seiring dengan perubahan selera konsumen maka tidak jarang dalam kurun waktu singkat seorang pengguna berganti merek atau tipe handphonenya dari suatu merek ke merek lainnya. Hal semacam itu menunjukkan bahwa produk handphone sangat rentan dengan perilaku variety seeking.
 Sellyana Junaidi dan Basu Swastha (2002:91) dalam penelitiannya pengaruh ketidakpuasan konsumen, karekteristik kategori produk, dan kebutuhan mencari variasi terhadap keputusan perpindahan merek dengan produk-produk toiletris yaitu sampo, sabun pasta gigi. Dengan menggunakan analisis regresi linear berganda, dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketidakpuasan konsumen dan kebutuhan mencari variasi mempengaruhi keputusan perpindahan merek secara signifikan. Namun karekteristik produk toiletris tidak mempengaruhi keputusan perpindahan merek secara signifikan. 
Menurut penelitian Dwi Ermawati (2006), terdapat pengaruh antara periklanan, perubahan harga dan ketidakpuasan konsumen terhadap keputusan perpindahan merek pada konsumen shampo sunslik di surabaya. Sedangkan menurut Septi Erawati (2006) terdapat pengaruh ketidakpuasan konsumen, harga dan kualitas produk terhadap keputusan perpndahan merek handphone pada penduduk di kota magelang. 
 Menurut pra survei yang telah dilakukan oleh penulis sebelum penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang memepengaruhi pelanggan untuk loyal atau berpindah merek. Yang pertama adalah harga, karena harga merupakan nilai produk yang harus dibayarkan oleh konsumen. Sebagai contoh, harga yang ditawarkan suatu merek yang terlalu mahal sementara karakteristik yang ditawarkan sama dengan merek saingannya, hal semacam itu juga dapat menyebabkan perpindahan merek. Faktor yang kedua adalah ketidakpuasan, Ketidakpuasan atas produk dan merek sebagai hasil dari dua variabel kognitif antara lain harapan pra pembelian dan ketidakcocokan. Ketiga adalah mencoba-coba atau mencari variasi (variety seeking), dimana dengan adanya berbagai macam produk yang ditawarkan membuat konsumen mudah sekali untuk berpindah merek. Karena konsumen dihadapkan dengan berbagai macam variasi produk dengan berbagai jenis merek, keadaan ini dapat mempengaruhi konsumen untuk mencoba coba berbagai macam produk dan merek sehingga konsumen tidak akan sepenuhnya setia akan suatu produk. Dan yang keempat adalah kualitas produk, dimana kualitas mencerminkan kemampuan produk untuk menjalankan sesuai dengan fungsinya. Apabila terdapat produk atau merek tertentu yang kualitasnya buruk atau kurang baik, maka konsumen akan enggan untuk menggunakannya dan memungkinkan untuk beralih pada produk atau merek yang lain. 
Dari uraian diatas terdapat beberapa faktor – faktor yang mempengaruhi perpindahan merek, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh variabel harga, ketidakpuasan, variety seeking dan kualitas produk dapat mempengaruhi brand swicthing. Penelitian ini mengunakan produk handphone yang murah, karena pada saat brand switching handphone yang harganya murah atau kelas menengah kebawah memiliki resiko yang kecil dibandingkan dengan handphone yang harganya mahal atau kelas premiun. Dan responden bertempat tinggal di kota semarang yang berusia 18-45 tahun, karena diharapkan pada usia tersebut dapat memberikan jawaban yang realistis. 


Latar Belakang Masalah

Beragamnya produk baik barang maupun jasa yang ditawarkan dalam berbagai merek oleh perusahaan dewasa ini telah meningkatkan keinginan konsumen untuk mencoba produk tersebut dalam berbagai merek. Salah satu dari produk tersebut adalah fast food atau disebut juga makanan cepat saji. Beragamnya fast food saat ini juga telah membuat konsumen sedikit banyak mempunyai keinginan untuk membeli. Saat ini saja daerah Semarang sudah banyak dijumpai makanan cepat saji (fast food) seperti Mcdonald’s, KFC, CFC, TEXAS, Burger King dll.
 Produk makanan cepat saji dikategorikan sebagai barang konsumsi yang banyak diminati oleh para konsumen baik dari segmen anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, karena makanan siap saji ini mudah dibeli dan memiliki banyak macam pilihan. Keputusan pembelian makanan cepat saji ini dipengaruhi oleh tersedianya berbagai macam pilihan makanan (menu) dan cara penyajiannya yang menarik.  
Persaingan dunia bisnis yang semakin ketat dalam memperebutkan konsumen mengharuskan perusahaan untuk berusaha keras dalam menarik konsumen. Setiap perusahaan selalu dituntut untuk merancang strategi pemasaran yang berorientasi pada konsumen. Melalui strategi pemasaran yang tepat, hal ini akan dapat memberikan kepuasan kepada konsumen yang pada akhirnya nanti akan menjadikan perusahaan tersebut berhasil mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam menentukan pasar yang tepat bagi produk yang dihasilkan perusahaan, perlu dikaji dan diteliti motif, perilaku, serta kebiasaan konsumen. Perilaku konsumen oleh James F. Engel et al (1994:3) didefinisikan sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. 
Perilaku konsumen perlu dipahami sebelum rencana pemasar dikembangkan. Pasar dalam hal ini konsumen, selalu bergerak dinamis, sedangkan perusahaan seharusnya dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan kebutuhan konsumen tersebut. Perusahaan dikatakan dapat memenangkan persaingan apabila konsumen setia dan loyal terhadap produk yang dihasilkan dan memiliki kemampuan untuk mendapatkan konsumen baru dari pembeli potensial.
Keberhasilan kegiatan pemasaran sangat ditentukan oleh kemampuan produk yang dihasilkan untuk memenuhi apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Oleh karena itu, dalam memasarkan produk yang dihasilkan perlu diketahui dan dianalisa mengapa seseorang membeli suatu produk dan apa yang diharapkan oleh konsumen dari produk yang dibelinya itu. Motif pembelian perlu diketahui oleh pemasar, agar pemasar tersebut dapat menetapkan strategi produk dan strategi pemasaran secara tepat dan terarah kepada konsumen yang menjadi pasar sasaran. Selain itu, pemasar juga perlu menciptakan suasana yang dapat menimbulkan keputusan membeli dari konsumen. Atribut-atribut toko yang ada ditoko perlu ditonjolkan umtuk menarik minat konsumen dan menimbulkan keputusan untuk membeli. Atribut-atribut tersebut antara lain : kualitas produk, harga, pelayanan dan promosi. Kesemuanya itu diusahakan dalam upaya untuk menimbulkan motivasi konsumen untuk membeli ditoko tersebut.
 Konsep pemasaran menekankan pada usaha untuk memberikan kepuasan konsumen melalui kegiatan pemasaran yang terpadu, sehingga tujuan untuk memperoleh laba yang direncanakan dalam jangka panjang dapat tercapai. Jadi dalam konsep pemasaran perusahaan berusaha untuk mencapai tujuan jangka panjang dengan berorientasi pada konsumen. Dengan demikian, jumlah konsumen diharapkan dapat meningkat dan sekaligus meningkatkan jumlah penjualan.
 Dalam membuat suatu perencanaan pemasaran serta penetapan strategi pemasaran sebagai dasar pelaksanaan kegiatan pemasaran, perusahaan perlu mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen, serta produk yang akan dijualnya. Dalam strategi “marketing mix”, strategi produk merupakan unsur yang penting, karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran lainnya. Strategi produk mencakup keputusan tentang bauran produk, kemasan, kualitas produk, promosi serta pelayanan yang diberikan.
 Dalam memutuskan untuk membeli pada seorang konsumen, perusahaan senantiasa perlu memberikan harga yang terjangkau, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan serta gencar melakukan promosi baik di media massa ataupun dimedia elektronik. Paparan diatas berlaku pada setiap lini bidang usaha, tidak terkecuali produk makanan dan minuman. Selama ini, Mcdonald’s yang terkenal dengan produk fast food (makanan cepat saji) telah menerapkan standarisasi dalam hal melayani pelanggan dengan kualitas, kebersihan, serta pelayanan yang baik. Dalam hal kualitas produk, Mcdonald’s senantiasa menjaga kualitas produknya, harga yang terjangkau, kecepatan serta ketepatan dalam hal pelayanan sangat diutamakan dalam melayani konsumen tidak lupa juga promosi-promosi yang gencar dilakukan diberbagai media. Pendekatan kultural menjadi salah satu faktor penting bagi keberhasilan Mcdonald’s. Motivasi produk yang ditawarkan Mcdonald’s mengakulturasi selera dari masyarakat Indonesia, sehingga menu-menu yang ditawarkan disesuaikan dengan cita rasa / selera Indonesia.
 Dalam upaya untuk lebih mendekatkan diri dengan konsumennya, Mcdonald’s melakukan terobosan dengan menyingkat nama-nama produknya seperti PANAS (paket nasi), BURYAM (bubur ayam) maupun PAHE (paket hemat) hingga penyingkatan nama Mcdonald’s yang kini lebih populer dengan sebutan McD. Terobosan ini bukan saja segera diikuti pesaing, tetapi juga semakin mengakrabkan dan mendekatkan Mcdonald’s dengan konsumennya. Sedangkan untuk harga Mcdonald’s mempunyai harga ekonomis yaitu melalui paket GOCENG atau serba Rp 5000,- dalam hal pelayanan, Mcdonald’s senantiasa berusaha meningkatkan pelayanannya. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan kecepatan dalam melayani konsumen melaui program 60 detik siap saji serta menyediakan layanan antar (delivered) selama 24 jam nonstop dengan motto “ADA ORDER KAMI ANTAR” melalui telepon 14045, tidak ketinggalan juga pihak McD menyediakan tempat bermain bagi anak-anak untuk para konsumen atau pelanggan McD yang membawa serta putra putri mereka pada saat melakukan transaksi pembelian, hal ini dilakukan agar para anak-anak tidak cepat bosan atau jenuh ketika orang tua mereka antri membeli, untuk hal promosi Mcdonald’s melakukan terobosan dengan cara mensponsori salah satu televisi nasional dalam program buka puasa dan sahur bareng Mcdonald’s dan juga McD menyediakan tempat khusus secara gratis atau Cuma-cuma untuk para pelanggannya yang ingin merayakan ulang tahun di McD.
 Dalam usaha tersebut pihak manajemen Mcdonald’s Indonesia dituntut untuk mempelajari perilaku konsumen dalam melakukan pembelian. Dalam rangka meningkatkan penjualan, Mcdonald’s Indonesia melakukan berbagai strategi-strategi yang terbaik bagi pengunjung dan pelanggan mereka. Dengan maksud agar konsumen menjadi tertarik untuk melakukan pembelian direstoran Mcdonald’s Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2000) menggunakan lima variabel yang mempengaruhi frekuensi kunjungan konsumen pada Mcdonald’s plaza Surabaya, variabel tersebut diantaranya adalah produk, harga, promosi, tempat dan gaya hidup. Selanjutnya penelitian ini akan mengadopsi beberapa variabel penelitian yang digunakan oleh Kurniawati (2000), penulis juga melakukan survey awal atau sementara terhadap konsumen Mcdonald’s yang berada di wilayah Semarang dan diperoleh hasilnya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian diantaranya adalah kualitas produk, harga, pelayanan dan promosi, mengapa diambil empat variabel tersebut, karena keempat variabel tersebut adalah yang paling dominan dipilih oleh para konsumen Mcdonald’s dalam melakukan suatu pembelian daripada variabel-variabel yang lainnya.  
 Berdasarkan uraian diatas dapat diperoleh gambaran bahwa dibutuhkan suatu analisis yang tepat untuk dapat dijadikan dasar dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli fast food di Mcdonald’s.